Masjid-masjid bertambah banyak. Pemuda dan pelajar serta mahasiswa
membanjiri masjid dan mushola. Berbagai kegiatan diadakan di sana.
Ramadhan dan hari-hari besar ramai dengan kegiatan keislaman. Acara
diskusi dan seminar tentang Islam banyak dikunjungi mahasiswa dan
cendekiawan. Pesantren dan pondok didatangi mahasiswa yang ingin belajar
Islam kepada kyai-kyai. Kajian-kajian Islam selalu menarik perhatian.
Buku-buku tentang Islam membanjiri pasaran dan dinyatakan paling laris.
Kita semua mengatakan ini semua sebagai alamat tumbuhnya kesadaran
beragama di kalangan ummat Islam.
Banyak pejabat pemerintah menunaikan ibadah haji. Di kantor-kantor
pemerintah dan lembaga-lembaga swasta diperintahkan untuk didirikan
masjid dan mushola, bahkan juga tempat-tempat hiburan dan wisata. Kita
menyebutnya kesadaran mulai tumbuh di lingkungan pejabat muslim.
Sebagian orang mempertanyakan, sementara
perguruan tinggi Islam berkeberatan menerima lulusan pondok pesantren,
mereka juga mengirimkan sarjana-sarjananya ke perguruan tinggi di AS dan
Eropa, yang sekuler dan berpedirian “agama adalah pribadi sifatnya”.
Sementara di dalam negeri sudah terkondisikan kecenderungan formalitas
dan spesialitas yang merupakan ciri masyarakat modern. Maka sudah dapat
diduga: lulusan barat inilah yang akan menangani masalah-masalah
keagamaan negeri ini nantinya. Berbarengan dengan itu, dilakukan pula
pengaburan istilah “ulama“ dan istilah-istilah keislaman lainnya.
Sementara itu, di kalangan kaum muslimin bermunculan aliran-aliran
sesat, usaha-usaha pengaburan atau tasykik atau meragukan sampai pada
hal-hal yang menyangkut sumber-sumber Islam, al-Quran dan sunnah.
Penafsiran yang terlepas dari teks atau nash-nash kedua sumber itu pun
dilakukan oleh cendekiawan. Pemerintah atau dalam hal ini depag bersikap
membiarkan seolah berkata ini adalah proses pendewasaan.
Sebagian lainnya berfikir masjid, mushola, puasa dan haji, dakwah dan
da’i, berjilbab dan nikah, talak serta rujuk, diskusi, seminar dan
mengaji Islam, bukanlah semua itu masalah pribadi? Bukankah seharusnya
semua itu dapat dilakukan tanpa harus terlebih dahulu menunggu perkenaan
atasan, karena sudah dibenarkan oleh Undang-undang? Lalu tentang ICMI,
kata salah seorang tokohnya untuk mengurus ICMI tidak disyaratkan orang
yang mengerti Islam. Dapatkah ini disebut sebuah kesadaran berislam?
Adakah kesadaran tanpa pemahaman? Bukankah aktivitas yang disebut di
atas bisa juga dilakukan oleh muslimin di negara paling sekuler
sekalipun, sehingga tidak perlu menunggu mendirikannya di negara Islam?